Namaku Aisyah. Bunda dan teman-teman biasa memanggilku dengan Icha. Umurku sepuluh tahun. Aku tinggal disebuah panti asuhan, Rumah Kasih namanya. Rumah panti ini besar sekali. Rumah kami mempunyai dua lantai dengan lima kamar untuk aku dan teman-teman yang tinggal disini. Tiap kamar ditempati oleh empat anak.
Hari ini aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Tadi malam bunda bilang kami akan kedatangan tamu jadi kami harus bersiap-siap. Aduh mengapa pagi cepat sekali datang, gerutuku dalam hati, rasanya masih ingin tidur. Mataku masih belum juga mau terbuka meskipun aku sudah berusaha membuang rasa malas ini. Pagi ini dingin sekali karena semalam turun hujan. Sekali lagi aku paksakan tubuhku untuk bangun dari tempat tidurku yang hangat ini.
Dengan membawa sapu aku langsung turun ke lantai satu, kemudian kubuka tirai ruang tamu. Diluar masih gelap tapi jalanan sudah mulai ramai dengan orang-orang yang lalu lalang. Kebanyakan mereka adalah penjual sayur yang akan pergi ke pasar atau mereka yang pulang berbelanja dari pasar. Kubuka pintu dan mulai menyapu halaman. Tak lama kemudian kulihat Nisa keluar dari rumah membawa sapu. Nisa dan aku sudah bersama sejak kami masih bayi. Kami sudah seperti saudara kandung saja. Bunda mengambil kami dari rumah sakit dan merawat kami.
“Cha, aku bantu kamu sapu halaman ya”, kata Nisa
“Terima kasih Nisa”, jawabku. “kamu bisa mulai dari sebelah sana”, kataku lagi.
“Baiklah”, kata Nisa sambil berjalan kearah yang kutunjuk tadi.
Halaman rumah kami sangat luas. Akan sangat melelahkan jika dibersihkan sendiri. Ada pohon mangga besar disebelah kanan dekat tembok pembatas rumah kami dengan rumah tetangga. Pohon inilah sang penyumbang banyak sampah dihalaman kami. Apalagi saat musim kemarau. Daun-daun kering berjatuhan kemana-mana ditiup angin. Pernah suatu kali rumah kami bocor ketika hujan turun. Kami terpaksa bergotong royong menguras air yang masuk dan mengepel lantai yang basah. Keesokan harinya bunda memanggil pak Hamid, seorang tukang yang biasa membantu bunda dirumah, untuk melihat talang air diatas rumah. Ternyata, kata pak Hamid talang air itu tersumbat daun mangga yang jatuh kesana.
Akhirnya selesai juga pekerjaanku dan Nisa. Halaman sudah tampak bersih sekarang. Wah capek sekali badanku. Aku berkeringat sampai basah punggung bajuku. Begitu juga dengan Nisa. Tapi kami puas melihat hasil pekerjaan kami. Aku hendak mengajak Nisa untuk masuk kedalam rumah ketika kulihat bunda berjalan kearah kami.
“ayo kalian segera mandi dan sholat subuh dulu”, kata bunda.
“baik bunda”, jawabku.
“tamu kita akan datang jam berapa sih bunda?”, Tanya Nisa. Bunda tersenyum pada Nisa.
“katanya sih mereka akan datang jam delapan, nak”, jawab bunda. “memangnya kenapa Nisa?”
“Oh tidak apa-apa bunda”, jawab Nisa sambil menundukkan kepalanya.
Aku tahu apa yang dirasakan Nisa sekarang ini. Aku tahu dia merasa cemas seperti juga aku dan anak-anak bunda yang lain. Dirumah ini, kami sudah seperti saudara sendiri. Memang terkadang kami suka bertengkar tapi itu tidak membuat kami saling membenci. Kata bunda kami tidak boleh membenci apalagi menyimpan dendam pada siapapun karena itu tidak baik dan dilarang oleh agama. Oleh sebab itulah kami selalu merasa cemas setiap kali ada tamu yang datang untuk membawa salah satu dari kami. Kami tidak ingin dipisahkan tapi kata bunda akan lebih baik jika kami semua memiliki keluarga yang mencintai dan menyayangi kami.
“sudahlah, sekarang kalian cepat mandi sana. Nanti ketinggalan sholah shubuhnya lho”, kata bunda sambil mengelus kepala kami.
Bunda adalah seorang ibu yang baik. Aku dan teman-teman sangat mencintai beliau. Entah bagaimana nasib kami jika tidak ada orang seperti bunda didunia ini. Mungkin kami akan ada dijalanan mengemis, mengamen atau bahkan mencuri hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Bunda adalah seorang ibu yang sangat sabar saat menghadapi kenakalan kami. Bunda tidak pernah marah jika kenakalan kami tidak keterlaluan. Tapi justru itu yang membuat kami merasa segan kepada beliau.
Aku sedang memasang kerudung ketika kudengar suara kak Ratna memanggil kami dari bawah. Kak Ratna adalah keponakan bunda. Setelah orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu, dia tinggal bersama kami dipanti ini. Kak Ratna orangnya baik tapi dia tegas dan disiplin terhadap kami. Terkadang dia memarahi kami jika kami melakukan kesalahan. Tapi kak Ratna juga sering membacakan buku cerita untuk kami sebelum kami tidur. Dia juga pandai sekali mendongeng. Wah seru sekali kalau kak Ratna sedang mendongeng. Kami seperti larut dalam ceritanya.
“Ayo anak-anak cepat turun”, seru kak Ratna. “sebentar lagi tamu kita ada datang. Sebaiknya kalian sarapan dulu. Ayo cepat!”.
Kami bergegas menuju meja makan untuk sarapan. Tidak seperti biasanya, kali ini kami duduk di kursi masing-masing dengan tertib. Sepertinya bunda telah menyiapkan beberapa masakan yang enak-enak dimeja. Kalau saja suasananya tidak seperti ini pasti kami semua langsung berebut mengambil dan menghabiskan makanan yang ada dimeja ini.
Kami telah selesai makan, ketika kami dengar pintu depan dibuka dan terdengar suara bunda bercakap-cakap dengan seseorang. Kak Ratnah bangkit dari tempat duduknya untuk melihat siapa yang datang. kemudian dia memberitahu kami bahwa tamu yang kami tunggu-tunggu sudah tiba.
Bunda memanggil kami ke ruang tamu dan memperkenalkan kami kepada tamunya. seorang lelaki yang belum terlalu tua dan istrinya yang cantik. Namanya bapak dan ibu Angkoso. Aku belum pernah melihat wanita secantik itu. Aah seandainya wanita itu adalah ibuku. Ibu yang tidak pernah aku miliki.
Bunda mempersilahkan bapak Angkoso untuk berbicara kepada semua. “Baiklah, begini anak-anak, tujuan kami datang kesini adalah untuk mengajak salah satu dari kalian untuk tinggal bersama kami. Percayalah anak-anak, walaupun kami hanya memilih salah satu dari kalian tapi kami tidak akan meninggalkan kalian begitu saja. Siapapun dari kalian yang nantinya kami pilih untuk tinggal bersama kami tetap akan bisa dan boleh datang ke rumah ini kapanpun dia mau. Dan buat kalian yang tetap tinggal disini, kalian juga boleh dating kerumah kami kapanpun kalian mau”, jelas bapak Angkoso. Beliau berhenti sejenak. Ibu Angkoso tersenyum sambil mengangguk kepada anak-anak.
Anak-anak saling memandang satu sama lain. Sebagian besar dari mereka berharap dirinyalah yang akan diadopsi. Pasti akan sangat menyenangkan punya orang tua yang menyayangi mereka. Aku juga berpikir sama seperti teman-teman. Aku juga berharap akulah yang akan dipilih bapak dan ibu Angkoso untuk dijadikan anak mereka.
“Kami akan mengangkat kalian semua menjadi anak asuh kami”, lanjut bapak Angkoso. Beliau melihat ibu Angkoso yang berdiri disamping beliau. Dengan tersenyum wanita yang cantik itupun berkata, “Betul anak-anak, kami akan mengangkat kalian semua menjadi anak asuh kami, dan membantu Bunda membiayai sekolahkan kalian semua dan memehuni kebutuhan hidup kalian. Jadi kalian yang tetap tinggal disini tidak boleh bersedih hati yaa. Janji?” Tanya ibu Angkoso.
“yaaa, terima kasih, Ibu” jawab Aisyah dan teman-temannya. Ibu Angkoso berpaling kepada bunda.
Kemudian Bunda berkata “Anak-anak, sekarang kalian boleh masuk kedalam. Kami akan memanggil salah satu diantara kalian yang akan diajak untuk tinggal bersama Bapak dan Ibu Angkoso”.
Kami menunggu di ruang makan dengan penuh harap. Aku tahu teman-teman semua ingin terpilih. Sebagai anak-anak yatim piatu, kami sering berharap dapat memiliki keluarga yang akan menyayangi kami. Memiliki ayah dan bunda seperti anak-anak lain yang lebih beruntung dari kami diluar sana. Tidak perlu lagi tinggal dipanti asuhan seperti sekarang ini.
Aku melihat wajah teman-temanku satu per satu. Mereka saling berbisik dan tersenyum satu sama lain. Saat ada orang tua yang dating untuk mengadopsi kami adalah saat-saat yang menyenangkan. Harapan untuk memiliki keluarga baru memenuhi pikiran kami.
Saat berjalan ke ruang makan tadi, Nisa ingin aku berjanji kepadanya bahwa jika salah satu diantara kami lah yang terpilih, kami harus tetap bersahabat. Karena Nisa berkata bahwa dia sudah menganggap aku seperti kakak kandungnya. Aku setuju karena aku juga menyayangi Nisa seperti saudara yang tidak pernah aku miliki. Tak lama kemudian bunda menyusul kami masuk ke ruang makan.
“Anak-anak, bapak dan ibu Angkoso telah menetapkan pilihannya untuk memilih Nisa. Bunda harap kalian tidak bersedih hati atau kecewa ya”, kata bunda. Nisa kaget sekali mendengar kata-kata bunda.
“Nisa, ayo ikut Bunda menemui orang tua barumu, nak,” kata bunda kepada Nisa. Dia berpaling kepadaku dan memelukku.
“Kita tetap bersahabat kan, Cha? Janji ya?”, bisik Nisa ditelingaku. Ada air mata keluar dari matanya. Pasti dia bahagia sekali saat ini.
“Iya Nisa, itu pasti lagi pula kita kan tidak akan berpisah” jawabku. Kemudian Nisa dan bunda keluar.
Aku hanya bisa menatap mereka dengan perasaan yang tidak karuan. Aku merasa kecewa dan sedih karena Nisa terpilih dan bukan aku. Sepertinya teman-teman yang lain juga sama sepertiku karena mereka juga mengharapkan hal yang sama. Kak Ratna mengambil tempat duduk diatara kami dan bertanya, “Anak-anak, kenapa kalian bersedih?”. Kami hanya diam saja.
“Bukankah kalian tadi berjanji tidak akan sedih siapapun yang terpilih” katanya lagi.
“Kakak tahu kalian kecewa karena tidak dipilih bapak dan ibu Angkoso untuk tinggal bersama mereka. Tapi bukankah mereka sudah berjanji akan mengangkat kalian semua sebagai anak asuhnya?” lanjut kak Ratna.
“Kalian harus terus berdoa supaya suatu hari nanti Allah memberi kalian kebahagiaan seperti yang diperoleh oleh Nisa hari ini. Menemukan keluarga baru yang menyayangi kalian”, kata Kak Ratna lagi.
Ya, mengapa kami harus bersedih seperti ini?. Bukankah Nisa adalah teman dan keluarga kami juga? Jika kali ini dia yang diberikan orang tua baru oleh Allah, mungkin lain kali aku atau teman-teman yang lain. Bunda pernah mengatakan kami tidak boleh iri dengan nikmat yang diperoleh orang lain tapi kami harus selalu mensyukuri apa yang kami miliki sekarang.
Siang itu Nisa dan orang tua barunya meninggalkan panti. Aku dan beberapa teman lain membantunya mengemasi barang-barangnya. Sebelum pergi, Nisa memeluk kami satu per satu dan berjanji akan sering-sering datang mengunjungi kami. Entah mengapa, aku merasa sedih tapi juga bahagia melihat sahabatku pergi. Mungkin karena kami tidak bisa tinggal bersama lagi, tapi aku bahagia karena sahabatku telah menemukan keluarga terbaik yang selalu dia inginkan.