Maret 11, 2011

PERGI KE PASAR

Bunda sedang bersiap-siap pergi berbelanja ke pasar. Setiap hari minggu bunda selalu pergi ke pasar tapi di hari biasa bunda belanja di pedagang sayur keliling langganannya. Hari ini ayah yang akan mengantar bunda ke pasar. Aisyah bilang dia ingin ikut. “Kamu mau ikut juga, nak?” tanya bunda pada Rafa. Ke pasar? Wah sepertinya asik juga. mungkin nanti aku bisa lihat ikan-ikan hias yang dijual di sana. “Iya bunda, Rafa ikut deh” jawabnya.

Sampai di pasar bunda langsung masuk ke dalam pasar sementara ayah, rafa dan aisyah pergi ke tempat pedagang ikan. Tadi ayah berjanji akan membelikan mereka beberapa ikan hias untuk mengisi akuarium yang sudah lama kosong. Sebelumnya, ayah minta mereka berjanji akan merawat ikan-ikan itu dengan baik dan mereka menyetujui syarat itu.

Rafa menghitung ada sekitar sepuluh pedagang ikan disini. Ikan-ikan yang dijual juga bermacam-macam. Ada ikan mas koki, ikan cupang dengan ekor dan sirip yang indah, ikan lohan dan masih banyak lagi. Warna dan bentuk ikan-ikan hias itu indah dan lucu-lucu. Rafa memilih dua ekor ikan lohan dahinya benjol besar dan Aisyah memilih beberapa ikan mas koki berwana merah. Ayah membeli pakan untuk ikan-ikan yangmereka beli. Setelah puas melihat-lihat dan membeli beberapa ekor ikan, mereka bertiga kembali ketempat parkir untuk menunggu bunda selesai belanja. Tak lama kemudian bunda datang dengan dua tas penuh sayuran dan belanjaan lain ditangannya.

Dibantu ayah, Rafa dan Aisyah mencuci akuarium sudah berdebu karena terlalu lama ada digudang. Sebelum di isi air, akuarium itu diberi beberapa hiasan, batuan dan tanaman palsu sehingga terlihat seperti habitat ikan yang sebenarnya. Ikan-ikan itu langsung berenang dengan bebas begitu dimasukkan ke dalam akuarium. Aisyah tertawa senang melihat ikan-ikannya.

“Ingat ya janji kalian untuk selalu merawat ikan-ikan itu” kata ayah.

“Tenang Yah, kami tidak akan lupa dengan janji kami” ujar Rafa

“Iya kami akan memberi makan mereka setiap hari Yah” sambung Aisyah berusaha meyakinkan ayahnya.

“Baiklah, ayah percaya pada kalian anak-anak” kata ayah sambil tersenyum.

“Karena ikan-ikan itu juga makhluk Allah sama seperti kita. Jadi kalian tidak boleh membiarkan mereka sampai mati hanya karena kalian lupa memberi mereka makan” lanjut ayah.

Sebulan lebih sejak mereka membeli ikan-ikan itu dan mereka itu masih hidup karena Rafa dan Aisyah tidak pernah lupa memberi mereka makan dan mengganti air akuarium jika sudah kotor. Mereka bergantian memberi makan ikan-ikan itu setiap hari. Ayah sangat senang karena Rafa dan Aisyah memenuhi janji mereka untuk selalu merawat ikan-ikan mereka.

AKIBAT MALAS MANDI

Sudah hampir jam empat sekarang tapi Dani masih asik bermain Playstation. Sejak pulang dari sekolah jam satu tadi, Dani langsung menyalakan Playstation-nya begitu menemukan cd game Winning Eleven favoritnya. Dia memang suka sekali dengan olah raga sepak bola. Bahkan disekolah, Dani juga termasuk pemain utama tim sepak bola sekolahnya. Seperti kebanyakan anak-anak lainnya, dia juga penggemar berat David Beckham. Kamarnya penuh dengan poster Beckham. Dani akan uring-uringan sepanjang hari jika papanya lupa membangunkan dia saat tim kesayangannya itu berlaga di televisi.

“Dan, ayo mandi dulu. Dari tadi kok main PS terus sih!” Suara mama mulai terdengar lebih keras dari sebelumnya.

“sebentar lagi ma, dikit lagi ya”, jawab Dani tanpa menoleh kearah mamanya sedikitpun.

“kalau tidak mandi sekarang juga, besok mama akan simpan PS-nya” ancam mama. “kamu kan harus pergi ke musolah untuk ngaji”

Tapi Dani tetap saja tidak beranjak dari duduknya didepan tv dan terus saja asik bermain dengan game-nya. Rupanya mama sudah capek menyuruhnya untuk mandi. Dalam hati Dani berkata, “asik tinggal sedikit lagi, baru aku akan mandi.”

Tak lama kemudian terdengar suara mama sedang berbicara dengan seseorang. Tapi Dani tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan mamanya di luar dan dengan siapa dia berbicara. Tiba-tiba seseorang berkata “Assalamualaikum, wah cucu eyang asik banget bermainnya. Sampai-sampai tidak tahu eyang dating nih.” Dani menoleh kea rah suara itu dan melihat eyang sudah ada didekatnya.

“A’alaikumsalam, Eyang!” seru Dani kaget. “kok eyang nggak bilang sih kalau mau datang?”

“Iya, eyang sengaja tidak telpon dulu. Karena eyang sudah ada janji dengan mamamu. Kami akan pergi ke rumah tante Nani”, jelas eyang.

“Asiiiik!!” teriak Dani. “Dani ikut ya, Yang?”

“Sebenarnya Mama memang akan mengajak Dani pergi, tapi kan Dani belum mandi jadi yaa tidak terpaksa tidak bisa ikut kan” sahut mama yang sudah berdiri disamping eyang sambil tersenyum.

“yaaa mama, Dani pengen ikut Ma” rengek Dani

“Ehm gimana yaa, coba tadi Dani nurut waktu mama suruh mandi pasti sekarang boleh ikut”, kata mama lagi.

“Kalau gitu, Dani mandi sekarang ya Ma?”, kata Dani memohon kepada mamanya.

“Tapi tetap saja kamu tidak boleh ikut, karena kami harus pergi sekarang”, kata mamanya. “Lain kali saja ya, Sayang”, lanjut mamanya.

“Dani dirumah saja sama papa ya, tuh papa sudah pulang,” kata Mama sambil mencium pipi Dani. “Lain kali jangan keasikan main game ya”, bisik mama pada Dani.

Dani hanya bisa cemberut melihat mama dan eyang pergi tanpa mengajaknya. Dia menyesal sekali mengapa tadi tidak menurut ketika disuruh mamanya untuk mandi. Sekarang dia harus tinggal dirumah dengan papanya. Dani berjanji dia tidak akan lupa waktu lagi saat bermain. Dia tidak mau ditinggal dirumah lagi seperti sekarang.

HAVE FAITH IN YOURSELF

“Mom, Mrs. Linda said we’re going to beach this Sunday” Kata Uni begitu dia menemukan ibunya di dapur sepulang sekolah. “Oh really? Why would you go to the beach for, Honey?” tanya ibunya. “Mrs. Linda said there will be a competition for elementary school students and I will dance with some friends”, Jawab Uni.

Uni berlatih menari dengan teman-temannya setiap hari sepulang sekolah. Mereka berlatih bersama beberapa teman yang lain, dilatih oleh ibu guru mereka. Uni sangat senang karena terpilih sebagai salah satu penari yang mewakili sekolahnya. Dia berlatih sangat keras untuk menghafal gerakan-gerakan tari yang diajarkan ibu gurunya.

Hari Sabtu adalah hari terakhir sebelum hari lomba. Anak-anak mencoba kostum untuk lomba besok. Bu guru membantu mereka memakai kostum-kostum tersebut. Bu Linda bertanya “Has everyone got her or his costume?”. Anak-anak yang sedang bersemangat itupun menjawab “Yes, we have, mam!”. Kemudian Bu Linda berkata, “Now, you may take the costumes off and take them home. But be careful, don’t tear them otherwise you won’t have another one to wear tomorrow”.

Sudah jam sepuluh malam sekarang tapi lampu dikamar uni masih menyala. Uni gelisah memikirkan lomba itu. Dia takut tidak bias tampil bagus. Bagaimana jika dia tiba-tiba dia lupa gerakan tarinya, wah pasti akan malu sekali. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Rupanya itu ibu Uni. “Honey, it’s 10 p.m., why don’t you get some sleep?”. Uni duduk dan menatap wajah ibunya sambil berkata, “I can’t sleep mom”.

“But why, dear? What are you thinking about?” Tanya ibunya.

“I’m thinking about my performance tomorrow” Jawab Uni.

“What if I can’t perform well. It will be embarrassing, mom” Lanjut Uni lagi.

“Well, dear. I know you had practiced for a week”

“I did, but …”

“And you remember all the steps, right?”

“I do”

“Then, there’s nothing to worry about. I’m sure that you’ll be okay tomorrow.”

“You think so, mom?” Tanya Uni ragu.

“All you have to do tomorrow is do your best and have faith in yourself” Jawab ibunya. “If you believe, you can do anything. Trust me” lanjut ibu.

Uni puas dengan kata-kata ibunya. Dia percaya besok dia bisa tampil dengan baik dalam lomba itu seperti yang dikatakan ibunya. Sekarang dia akan tidur dengan tenang dan tidak terlalu khawatir lagi dengan lomba besok. Karena Uni tahu dia akan menari dengan baik.

“Uni, come and have your breakfast” Ibu memanggil Uni dari dapur. Uni bergegas turun dengan membawa sebuah tas besar.

“Don’t forget to bring your costume, dear” kata ibu.

“I have it all in this paper-bag, mom”, jawab Uni.

“Good, now have your breakfast first”, kata ibu sambil mengambilkan sarapan untuk Uni.

“Dad, will you take me to school today?” Tanya Uni pada ayah yang telah lebih dulu berada di meja makan.

“Okay, no problem dear” Jawab ayah sambil meletakkan koran yang sedang dibacanya.

“Are you ready for the competition, sweetheart?” Tanya ayah pada Uni.

“I think I am. Wish me luck. Oh and don’t forget to bring the camera, dad” Kata Uni sambil tersenyum.

Ayah dan ibu mengantar Uni ke sekolah. Anak-anak sudah ramai disana. Beberapa dari mereka sudah memakai kostum mereka dan riasan wajah. Wah ternyata lucu juga teman-teman memakai kostum dan riasan wajah itu, pikir Uni. Uni jadi tidak sabar menanti gilirannya untuk dirias dan memakai kostum tarinya. Uni sedang dibantu ibu mengenakan kostum ketika ibu guru memanggilnya untuk dirias. Akhirnya mereka siap untuk berangkat berlomba.

Panggung untuk lomba itu dibangun diatas air, beberapa meter dari bibir pantai. Sebuah lorong memanjang ke arah laut menghubungkan bibir pantai dengan panggung terapung itu. Para peserta lomba menunggu giliran untuk tampil dipinggir pantai. Tidak hanya para murid tapi juga orangtua meraka tampaknya sudah tidak sabar menunggu. Para orang tua itu ingin melihat penampilan anak-anak mereka. Hampir semua orang membawa kamera atau handycam untuk mengabadikan penampilan anak-anak mereka.

Melihat banyak orang disekelilingnya, Uni merasa gugup dan agak takut. Perasaan yang dirasakannya semalam muncul lagi. Dia mulai memikirkan lagi betapa malunya kalau dia membuat kesalahan ketika tampil nanti. Rupanya ibu memperhatikan kecemasan Uni. Sambil membelai punggung Uni, ibu berkata, “do you still remember what I said to you last night, don’t you?.

“Yes, mom. But these people …”, Uni tidak bisa meneruskan kata-katanya.

“Everything will be okay, dear. There’s nothing to worry about. I’m sure those kids feel the same. They get nervous too. Just believe yourself and you’ll be fine”, bisik ibu. Ciuman ibu dipipinya membuat Uni tenang. Oh, I love you mom, kata Uni dalam hati.

Akhirnya tibalah giliran sekolah Uni untuk tampil di panggung. Rino, teman sekelas Uni, mendapat giliran pertama membaca puisi. Penonton bertepuk tangan begitu Rino selesai membacakan puisinya. Setelah itu, giliran Uni dan tiga orang temannya maju untuk membawakan tariannya. Uni sedikit gugup ketika akan mulai menari tapi begitu dia melihat ibu melambaikan tangan kepadanya, Uni teringat apa yang dikatakan ibunya tadi.

Tanpa terasa Uni dan teman-temannya telah menyelesaikan tarian itu dan mereka tampil dengan sangat bagus. Mereka tidak membuat kesalahan sedikitpun. Ibu guru mereka berkata, “You’ve danced beautifully. I’m so proud of you” sambil memeluk Uni dan teman-temannya satu per satu. Uni is so happy and she run quickly to her mother and give her a hug. She said, “Thanks mom, I love you”. Ibu yang juga bangga dengan penampilan Uni dan teman-temannya tersenyum dan berkata, “I love you too, sweetheart”.

Uni akan selalu mengingat nasehat ibu padanya ketika dia merasa gelisah dan gugup setiap kali akan melakukan sesuatu. Kita bias melakukan apa saja jika kita percaya bahwa kita bisa. You can do anything if you believe. Just have faith in yourself. Uni telah membuktikan nasehat ibunya itu benar.

Agustus 11, 2009

Aisyah 1: Tamu Bunda

Namaku Aisyah. Bunda dan teman-teman biasa memanggilku dengan Icha. Umurku sepuluh tahun. Aku tinggal disebuah panti asuhan, Rumah Kasih namanya. Rumah panti ini besar sekali. Rumah kami mempunyai dua lantai dengan lima kamar untuk aku dan teman-teman yang tinggal disini. Tiap kamar ditempati oleh empat anak.

Hari ini aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Tadi malam bunda bilang kami akan kedatangan tamu jadi kami harus bersiap-siap. Aduh mengapa pagi cepat sekali datang, gerutuku dalam hati, rasanya masih ingin tidur. Mataku masih belum juga mau terbuka meskipun aku sudah berusaha membuang rasa malas ini. Pagi ini dingin sekali karena semalam turun hujan. Sekali lagi aku paksakan tubuhku untuk bangun dari tempat tidurku yang hangat ini.

Dengan membawa sapu aku langsung turun ke lantai satu, kemudian kubuka tirai ruang tamu. Diluar masih gelap tapi jalanan sudah mulai ramai dengan orang-orang yang lalu lalang. Kebanyakan mereka adalah penjual sayur yang akan pergi ke pasar atau mereka yang pulang berbelanja dari pasar. Kubuka pintu dan mulai menyapu halaman. Tak lama kemudian kulihat Nisa keluar dari rumah membawa sapu. Nisa dan aku sudah bersama sejak kami masih bayi. Kami sudah seperti saudara kandung saja. Bunda mengambil kami dari rumah sakit dan merawat kami.

“Cha, aku bantu kamu sapu halaman ya”, kata Nisa

“Terima kasih Nisa”, jawabku. “kamu bisa mulai dari sebelah sana”, kataku lagi.

“Baiklah”, kata Nisa sambil berjalan kearah yang kutunjuk tadi.

Halaman rumah kami sangat luas. Akan sangat melelahkan jika dibersihkan sendiri. Ada pohon mangga besar disebelah kanan dekat tembok pembatas rumah kami dengan rumah tetangga. Pohon inilah sang penyumbang banyak sampah dihalaman kami. Apalagi saat musim kemarau. Daun-daun kering berjatuhan kemana-mana ditiup angin. Pernah suatu kali rumah kami bocor ketika hujan turun. Kami terpaksa bergotong royong menguras air yang masuk dan mengepel lantai yang basah. Keesokan harinya bunda memanggil pak Hamid, seorang tukang yang biasa membantu bunda dirumah, untuk melihat talang air diatas rumah. Ternyata, kata pak Hamid talang air itu tersumbat daun mangga yang jatuh kesana.

Akhirnya selesai juga pekerjaanku dan Nisa. Halaman sudah tampak bersih sekarang. Wah capek sekali badanku. Aku berkeringat sampai basah punggung bajuku. Begitu juga dengan Nisa. Tapi kami puas melihat hasil pekerjaan kami. Aku hendak mengajak Nisa untuk masuk kedalam rumah ketika kulihat bunda berjalan kearah kami.

“ayo kalian segera mandi dan sholat subuh dulu”, kata bunda.

“baik bunda”, jawabku.

“tamu kita akan datang jam berapa sih bunda?”, Tanya Nisa. Bunda tersenyum pada Nisa.

“katanya sih mereka akan datang jam delapan, nak”, jawab bunda. “memangnya kenapa Nisa?”

“Oh tidak apa-apa bunda”, jawab Nisa sambil menundukkan kepalanya.

Aku tahu apa yang dirasakan Nisa sekarang ini. Aku tahu dia merasa cemas seperti juga aku dan anak-anak bunda yang lain. Dirumah ini, kami sudah seperti saudara sendiri. Memang terkadang kami suka bertengkar tapi itu tidak membuat kami saling membenci. Kata bunda kami tidak boleh membenci apalagi menyimpan dendam pada siapapun karena itu tidak baik dan dilarang oleh agama. Oleh sebab itulah kami selalu merasa cemas setiap kali ada tamu yang datang untuk membawa salah satu dari kami. Kami tidak ingin dipisahkan tapi kata bunda akan lebih baik jika kami semua memiliki keluarga yang mencintai dan menyayangi kami.

“sudahlah, sekarang kalian cepat mandi sana. Nanti ketinggalan sholah shubuhnya lho”, kata bunda sambil mengelus kepala kami.

Bunda adalah seorang ibu yang baik. Aku dan teman-teman sangat mencintai beliau. Entah bagaimana nasib kami jika tidak ada orang seperti bunda didunia ini. Mungkin kami akan ada dijalanan mengemis, mengamen atau bahkan mencuri hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Bunda adalah seorang ibu yang sangat sabar saat menghadapi kenakalan kami. Bunda tidak pernah marah jika kenakalan kami tidak keterlaluan. Tapi justru itu yang membuat kami merasa segan kepada beliau.

Aku sedang memasang kerudung ketika kudengar suara kak Ratna memanggil kami dari bawah. Kak Ratna adalah keponakan bunda. Setelah orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu, dia tinggal bersama kami dipanti ini. Kak Ratna orangnya baik tapi dia tegas dan disiplin terhadap kami. Terkadang dia memarahi kami jika kami melakukan kesalahan. Tapi kak Ratna juga sering membacakan buku cerita untuk kami sebelum kami tidur. Dia juga pandai sekali mendongeng. Wah seru sekali kalau kak Ratna sedang mendongeng. Kami seperti larut dalam ceritanya.

“Ayo anak-anak cepat turun”, seru kak Ratna. “sebentar lagi tamu kita ada datang. Sebaiknya kalian sarapan dulu. Ayo cepat!”.

Kami bergegas menuju meja makan untuk sarapan. Tidak seperti biasanya, kali ini kami duduk di kursi masing-masing dengan tertib. Sepertinya bunda telah menyiapkan beberapa masakan yang enak-enak dimeja. Kalau saja suasananya tidak seperti ini pasti kami semua langsung berebut mengambil dan menghabiskan makanan yang ada dimeja ini.

Kami telah selesai makan, ketika kami dengar pintu depan dibuka dan terdengar suara bunda bercakap-cakap dengan seseorang. Kak Ratnah bangkit dari tempat duduknya untuk melihat siapa yang datang. kemudian dia memberitahu kami bahwa tamu yang kami tunggu-tunggu sudah tiba.

Bunda memanggil kami ke ruang tamu dan memperkenalkan kami kepada tamunya. seorang lelaki yang belum terlalu tua dan istrinya yang cantik. Namanya bapak dan ibu Angkoso. Aku belum pernah melihat wanita secantik itu. Aah seandainya wanita itu adalah ibuku. Ibu yang tidak pernah aku miliki.

Bunda mempersilahkan bapak Angkoso untuk berbicara kepada semua. “Baiklah, begini anak-anak, tujuan kami datang kesini adalah untuk mengajak salah satu dari kalian untuk tinggal bersama kami. Percayalah anak-anak, walaupun kami hanya memilih salah satu dari kalian tapi kami tidak akan meninggalkan kalian begitu saja. Siapapun dari kalian yang nantinya kami pilih untuk tinggal bersama kami tetap akan bisa dan boleh datang ke rumah ini kapanpun dia mau. Dan buat kalian yang tetap tinggal disini, kalian juga boleh dating kerumah kami kapanpun kalian mau”, jelas bapak Angkoso. Beliau berhenti sejenak. Ibu Angkoso tersenyum sambil mengangguk kepada anak-anak.

Anak-anak saling memandang satu sama lain. Sebagian besar dari mereka berharap dirinyalah yang akan diadopsi. Pasti akan sangat menyenangkan punya orang tua yang menyayangi mereka. Aku juga berpikir sama seperti teman-teman. Aku juga berharap akulah yang akan dipilih bapak dan ibu Angkoso untuk dijadikan anak mereka.

“Kami akan mengangkat kalian semua menjadi anak asuh kami”, lanjut bapak Angkoso. Beliau melihat ibu Angkoso yang berdiri disamping beliau. Dengan tersenyum wanita yang cantik itupun berkata, “Betul anak-anak, kami akan mengangkat kalian semua menjadi anak asuh kami, dan membantu Bunda membiayai sekolahkan kalian semua dan memehuni kebutuhan hidup kalian. Jadi kalian yang tetap tinggal disini tidak boleh bersedih hati yaa. Janji?” Tanya ibu Angkoso.

“yaaa, terima kasih, Ibu” jawab Aisyah dan teman-temannya. Ibu Angkoso berpaling kepada bunda.

Kemudian Bunda berkata “Anak-anak, sekarang kalian boleh masuk kedalam. Kami akan memanggil salah satu diantara kalian yang akan diajak untuk tinggal bersama Bapak dan Ibu Angkoso”.

Kami menunggu di ruang makan dengan penuh harap. Aku tahu teman-teman semua ingin terpilih. Sebagai anak-anak yatim piatu, kami sering berharap dapat memiliki keluarga yang akan menyayangi kami. Memiliki ayah dan bunda seperti anak-anak lain yang lebih beruntung dari kami diluar sana. Tidak perlu lagi tinggal dipanti asuhan seperti sekarang ini.

Aku melihat wajah teman-temanku satu per satu. Mereka saling berbisik dan tersenyum satu sama lain. Saat ada orang tua yang dating untuk mengadopsi kami adalah saat-saat yang menyenangkan. Harapan untuk memiliki keluarga baru memenuhi pikiran kami.

Saat berjalan ke ruang makan tadi, Nisa ingin aku berjanji kepadanya bahwa jika salah satu diantara kami lah yang terpilih, kami harus tetap bersahabat. Karena Nisa berkata bahwa dia sudah menganggap aku seperti kakak kandungnya. Aku setuju karena aku juga menyayangi Nisa seperti saudara yang tidak pernah aku miliki. Tak lama kemudian bunda menyusul kami masuk ke ruang makan.

“Anak-anak, bapak dan ibu Angkoso telah menetapkan pilihannya untuk memilih Nisa. Bunda harap kalian tidak bersedih hati atau kecewa ya”, kata bunda. Nisa kaget sekali mendengar kata-kata bunda.

“Nisa, ayo ikut Bunda menemui orang tua barumu, nak,” kata bunda kepada Nisa. Dia berpaling kepadaku dan memelukku.

“Kita tetap bersahabat kan, Cha? Janji ya?”, bisik Nisa ditelingaku. Ada air mata keluar dari matanya. Pasti dia bahagia sekali saat ini.

“Iya Nisa, itu pasti lagi pula kita kan tidak akan berpisah” jawabku. Kemudian Nisa dan bunda keluar.

Aku hanya bisa menatap mereka dengan perasaan yang tidak karuan. Aku merasa kecewa dan sedih karena Nisa terpilih dan bukan aku. Sepertinya teman-teman yang lain juga sama sepertiku karena mereka juga mengharapkan hal yang sama. Kak Ratna mengambil tempat duduk diatara kami dan bertanya, “Anak-anak, kenapa kalian bersedih?”. Kami hanya diam saja.

“Bukankah kalian tadi berjanji tidak akan sedih siapapun yang terpilih” katanya lagi.

“Kakak tahu kalian kecewa karena tidak dipilih bapak dan ibu Angkoso untuk tinggal bersama mereka. Tapi bukankah mereka sudah berjanji akan mengangkat kalian semua sebagai anak asuhnya?” lanjut kak Ratna.

“Kalian harus terus berdoa supaya suatu hari nanti Allah memberi kalian kebahagiaan seperti yang diperoleh oleh Nisa hari ini. Menemukan keluarga baru yang menyayangi kalian”, kata Kak Ratna lagi.

Ya, mengapa kami harus bersedih seperti ini?. Bukankah Nisa adalah teman dan keluarga kami juga? Jika kali ini dia yang diberikan orang tua baru oleh Allah, mungkin lain kali aku atau teman-teman yang lain. Bunda pernah mengatakan kami tidak boleh iri dengan nikmat yang diperoleh orang lain tapi kami harus selalu mensyukuri apa yang kami miliki sekarang.

Siang itu Nisa dan orang tua barunya meninggalkan panti. Aku dan beberapa teman lain membantunya mengemasi barang-barangnya. Sebelum pergi, Nisa memeluk kami satu per satu dan berjanji akan sering-sering datang mengunjungi kami. Entah mengapa, aku merasa sedih tapi juga bahagia melihat sahabatku pergi. Mungkin karena kami tidak bisa tinggal bersama lagi, tapi aku bahagia karena sahabatku telah menemukan keluarga terbaik yang selalu dia inginkan.

SEPEDA BARU RIRI

Riri semangat sekali pagi ini. Dia bahkan bangun lebih pagi dari biasanya dan membuat ibunya terheran-heran melihatnya sudah rapi sepagi ini. Sejak semalam Riri sudah berencana akan pergi ke sekolah hari ini dengan sepeda baru hadiah ulang tahun dari ayahnya.

Setiap hari Riri berangkat sekolah pukul 06.30 karena harus berjalan kaki ke sekolah. Dia selalu sarapan dengan terburu-buru karena takut terlambat tiba di sekolah. Tapi hari ini berbeda. Riri menghabiskan sarapannya dengan santai. Dia yakin kalau naik sepeda, dia akan tiba di sekolah lebih cepat dan tidak akan terlambat meskipun berangkat lebih siang.

Setelah menghabiskan sarapannya, Riri pergi ke garasi untuk melihat sepeda barunya. Sudah lama Riri ingin memiliki sepeda berwarna merah tapi baru sekarang ayah mau membelikan untuknya. “Wah sepeda baruku bagus sekali!” kata Riri dalam hati. “Pasti teman-temanku akan iri melihatnya nanti”.

Tidak terasa sudah setengah jam Riri berdiri memandangi sepeda itu. Sudah jam 06.45 sekarang. Ibu mengingatkan Riri untuk segera berangkat ke sekolah kalau dia tidak ingin terlambat sampai di sekolah nanti. Riri buru-buru berpamitan pada ayah dan ibunya.

“Wah jalannya kok sudah ramai ya” pikir Riri. Tiba-tiba dia menjadi sangat cemas, “Rasanya takut juga aku naik sepeda dijalan seramai ini. Bagaimana aku menyeberang di depan sekolah nanti ya?”

Ketika sampai di depan sekolah, Riri berhenti agak lama menunggu jalan sepi supaya dia bias menyeberang. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan sambil berkali-kali melihat ke pintu gerbang sekolahnya yang sudah tertutup. “Aduh, kenapa kendaraan yang lewat jalan ini semakin banyak saja. Kalau begini bagaimana aku bisa menyeberang? Pasti aku akan dimarahi ibu guru karena terlambat” kata Riri dalam hati. Matanya sudah hamper berkaca-kaca, ketika dilihatnya pak Husein, satpam sekolahnya sudah berdiri diseberang hendak menyeberang ke Riri.

Ketika sampai di tempat Riri berdiri, pak Husein bertanya, “Tumben terlambat. Ri? Wah sepedanya baru ya?”

“iya pak, Riri kesiangan berangkatnya. Ternyata jalanan sudah ramai sekali. Riri tidak berani menyeberang” kata Riri.

“Ya sudah ayo sekarang kita menyeberang, kamu sudah terlambat masuk kelas. Sini sepedanya bapak yang pegang”, Kata pak Husein.

“Terima kasih Pak” Kata Riri sesampainya mereka di depan pintu gerbang.

“Besok berangkat lebih pagi ya, jangan kesiangan lagi” kata pak Husein sambil memberikan kembali sepeda Riri.

“Iya Pak, saya masuk ke kelas dulu ya pak” pamit Riri.

Riri berjanji akan berangkat lebih pagi besok. Dia tidak ingin terlambat masuk ke kelas lagi seperti hari ini. Dia tidak ingin dihukum menulis 50 kalimat ‘Saya tidak akan terlambat ke sekolah’ lagi oleh ibu guru seperti hari ini.